Perut bumi Indonesia menyimpan beragam ‘harta karun’ tambang yang nilainya bisa bikin geleng-geleng kepala, salah satunya yaitu batubara. Berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2021 menyebut, cadangan batu bara Indonesia mencapai sebanyak 31,7 miliar ton.
Komoditas si emas hitam ini belakangan sempat ramai dibicarakan karena perannya yang sangat sentral dalam keberlangsungan energi di Tanah Air.
Banyak yang beranggapan, hasil pembakaran batubara asal Indonesia menghasilkan Karbon Dioksida (CO2) tinggi sehingga dapat merusak lingkungan.
Menjawab anggapan tersebut, Plh Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Djoko Widajatno mengatakan ada peneliti dari Swiss yang melakukan penelitian di Indonesia atas batubara. Di mana, Emisi CO2 dari Indonesia yang dihasilkan dari Indonesia hanya 2 persen untuk efek dunia.
Penelitian itu tentu memperkuat fakta batubara masih dapat digunakan untuk pembangkit energi, asalkan dimanfaatkan dalam batas wajar.
Dia juga berpegang teguh pada istilah ‘Batu Bara: Barang Tuhan Dibagi Rata’. Pernyataan tersebut ia ucapkan lantaran batubara bisa digunakan untuk mengentaskan kemiskinan, sehingga keberadaannya masih dibutuhkan.
Terkait wacana bahwa batubara merupakan penyumbang CO2, Djoko mengatakan hal tersebut bisa diatasi dengan menggunakan Carbon Capture Utilization Storage (CCUS) atau diatasi dengan gasifikasi melalui hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME).
Tujuan diterapkan teknologi CCUS di atas pada batubara agar karbondioksida yang dikeluarkan bisa diminimalisir dan tidak terlalu membahayakan lingkungan.
Tidak dapat dipungkiri, batubara merupakan salah satu energi paling murah dibanding dengan energi lain. Tak heran, banyak negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, masih masih menggunakan energi ini untuk kebutuhan pembangkit listrik mereka.