Permasalahan paling berat pada kegiatan penambangan batubara di pertambangan terbuka yaitu air asam.
Air asam terbentuk karena proses oksidasi, adanya kontak antara batuan yang bersifat asam (sulfida mineral) dengan udara atau air.
Pyrite (FeS2) adalah senyawa yang umum dijumpai di lokasi pertambangan, juga sulfida logam yang mempunyai potensi membentuk air asam tambang seperti: marcasite, pyrrhotite, chalcocite, covellite dll.
Air asam yang mengandung logam berat itu kemudian mengalir ke sungai, danau atau rawa akan merusak kondisi ekosistem dan mempengaruhi bentang alam, perubahan struktur tanah, perubahan pola aliran permukaan dan air tanah serta komposisi kimia air permukaan.
Dengan demikian, perusahaan-perusahaan tambang wajib untuk mengolah air asam tambang yang dikeluarkannya sebagai dampak dari aktivitas pertambangan.
Selama ini, pengendalian yang dilakukan oleh para pengusaha tambang untuk menetralkan air asam tambang adalah dengan menggunakan kapur tohor.
Penetralan air asam tambang dengan menggunakan kapur tohor memakan biaya yang tidak sedikit.
Namun menetralkan air asam tambang dapat juga dilakukan dengan pendekatan kehutanan yakni menggunakan metode pembangunan hutan rawa.
Metode ini hampir sama dengan membuat sediment pond (kolam endap) di pertambangan. Bedanya, isi di dalamnya merupakan bahan organik yaitu kompos, tandan sawit dan sebagainya yang ditanami tanaman air seperti rumput tifa dan sebagainya. Manfaat dari pembangunan hutan rawa yaitu bisa menyerap logam berat.
Penanaman pohon-pohon di hutan rawa bisa ditanami seperti pohon kayu putih, jelutung dan sebagainya.
Baca Juga: Anti Nganggur, Ini Peluang Kerja Jurusan Teknik Pertambangan
Pohon-pohon ini yang akan menyerap logam-logam berat tadi, dan logam berat tadi disimpan di akar pohon
Sementara kolam yang terbentuk dari lubang bekas tambang juga dapat dimanfaatkan sebagai cadangan air, irigasi atau budidaya perikanan.
Terkait isu kandungan logam berat yang ada di dalam kolam tersebut dapat diatasi dan dibersihkan dengan penanaman tanaman air secara berkala yang dapat menyerap logam berat, yaitu kayu apu (pistia stratiotes), kiambang (salvinia cucullata) dan enceng gondok (eichornia crassipes).
Tentu saja dalam program restorasi tanah wilayah pertambangan tersebut diperlukan manajemen tanah yang baik, terintegrasi dan berkelanjutan.