Tidak dapat dipungkiri, Industri batubara selama ini menjadi salah satu sektor yang memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Apalagi di tengah fenomena windfall profits, harga batubara naik dan membuat negara mendapatkan pemasukan lebih dari industri ini.
Mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga September 2022 penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba) mencapai Rp 130 triliun.
Lantas dengan adanya wacana program transisi energi di berbagai dunia, bagaimana dampaknya bagi penerimaan negara apabila industri batubara benar-benar dihentikan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Ekonom Senior & Menteri Keuangan 2014-2016 Bambang Brodjonegoro mengatakan setiap negara mempunyai kerangka waktu (time frame) yang berbeda-beda terkait target pencapaian netral karbon atau net zero emissions (NZE).
Bambang juga optimistis, industri batubara Indonesia masih akan tetap cerah selama 10-20 tahun mendatang.
Selain itu, Ketua Komite Tetap Mineral dan Batubara KADIN Indonesia Arya Rizqi Darsono juga menilai, dalam jangka pendek maupun menengah industri batubara masih memiliki prospek yang cukup bagus. Hal tersebut lantaran terkait pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tanah Air akan dimulai pada 2030 atau 2035 nanti.
Apalagi menurut Arya, China sebagai negara pengimpor batubara Indonesia baru akan menutup PLTU-nya pada 2050 mendatang. Hal ini tentu membuka harapan bagi industri batubara Indonesia untuk terus berproduksi.
“Jadi menurut kami apalagi target produksi batu bara nasional 2023 sebesar 694 juta ton, meningkat 5% dari tahun 2022. Jadi ini masih menjadi, suatu apa namanya, indikasi bahwa industri pertambangan batu bara RI masih menarik untuk dijalankan,” ujar Arya.