Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), investasi di sektor migas hingga Oktober baru mencapai US$ 8,1 miliar atau baru sekitar 59% dari target tahun ini yang sebesar US$ 13,8 miliar.
Begitu pun spesifik hulu migas, berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), investasi hulu migas hingga akhir tahun ini diperkirakan hanya mencapai US$ 10,8 miliar, lebih rendah dari capaian 2019 yang sebesar US$ 11,8 miliar.
Sementara itu, Pengamat Migas dan Direktur Utama Pertamina Periode 2006-2009 Ari Soemarno menyebut tidak menariknya investasi migas tahun ini disebabkan karena faktor internal dan eksternal.
Dari sisi faktor internal menurutnya karena Indonesia sudah menjadi negara yang dinilai tidak atraktif untuk investasi migas dan sudah berjalan sejak 2016.
Bahkan, pada 2017 dan 2018 investasi di hulu migas Indonesia menurutnya menjadi salah satu dari lima negara yang paling tidak menarik untuk investasi.
Ari mengatakan, ini disebabkan karena beberapa hal, diantaranya insentif fiskal yang tidak kompetitif, masalah birokrasi, perizinan, dan pemerintah mengadopsi pola bagi hasil lain seperti gross split.
“Dan juga kebijakan yang nasionalisme sempit ya misalnya lapangan migas yang sudah berakhir masa kontraknya diserahkan ke Pertamina. Terjadi di Blok Mahakam dan Rokan. Ini buat pelaku migas jadi agak ragu melakukan investasi,” jelas Aji