Tidak dapat dipungkiri, batubara masih menjadi salah satu komoditas andalan untuk memenuhi kebutuhan energi global saat ini. Seiring pemulihan ekonomi setelah 2 tahun dihantam pandemi, industri ini kini mulai menggeliat dan menjadi tanda kebangkitan perekonomian.
Alasan masih banyaknya permintaan terhadap batubara, dikarenakan komoditas ini masih menjadi salah satu alternatif energi ‘siap pakai’ dan murah.
Meski demikian, penggunaan batubara pun menjadi sorotan terkait lingkungan, terutama pada lahan bekas tambang dan emisinya.
Melihat permasalahan tersebut, hal ini pun membuat industri batubara ramai-ramai melakukan diversifikasi melalui hilirisasi. Selain itu, dalam operasionalnya perusahaan batubara harus menerapkan prinsip Environmental, Social and Governance (ESG).
Hilirisasi dan diversifikasi bisa dilakukan dengan melalui gasifikasi batu bara, membuat PLTU mulut tambang, ada pula yang melirik mineral lainnya. Sementara itu, prinsip ESG dapat meminimalkan dampak kerusakan lingkungan, sekaligus menciptakan ekonomi sirkular yang secara langsung bermanfaat bagi masyarakat.
Keduanya, baik hilirisasi maupun ESG dapat mendorong transformasi bisnis yang besar. Dengan begitu, perusahaan batubara pun bisa memiliki bisnis yang tidak hanya fokus terhadap emas hitam ini, melainkan bisa merambah ke bisnis lain.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan langkah ESG hingga upaya hilirisasi yang dilakukan perusahaan batu bara saat ini sudah tepat.
Pasalnya, secara global pun banyak negara yang sudah mulai menuju ke arah energi yang lebih bersih atau energi terbarukan.
Melihat apa yang dikatakan oleh Mamit, dengan melakukan hilirisasi dan ESG perusahaan batubara dipastikan akan tetap eksis karena secara tidak langsung perusahaan telah bergerak ke arah energi yang lebih bersih.