Penutupan tambang dikenal dengan istilah “it’s not over when it’s over”. Hal tersebut lantaran kemungkinan bencana dapat terjadi sewaktu-waktu, walaupun penutupan tambang telah selesai dilakukan dan memasuki saat pasca tambang.
Misalnya, kota bekas tambang berubah menjadi “kota hantu” (ghost town), karena berhentinya kegiatan ekonomi, sosial dan keamanan lingkungan.
Apabila dibiarkan begitu saja, keadaan ini kemudian menjadi beban masyarakat, daerah atau negara. Maka penutupan tambang menjadi persoalan yang rumit, probabilistik, dinamis dan perlu persiapan jangka panjang.
Penutupan area tambang diperlukan sistem pendekatan untuk menyelesaikannya.
Salah satunya yaitu perlu pengembangan sebuah Desain Sistem Penutupan Tambang yang berkelanjutan, yang dapat menjamin keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan.
Penyusunan perencanaan penutupan tambang mensyaratkan pemerintah, stakeholder dan masyarakat mengkonsultasikan rencana dalam penyusunan pengembangan tambang, penutupan dan pasca penutupan tambang yang berkelanjutan.
Perusahaan pertambangan harus menentukan dan menyiapkan persyaratan guna mendapatkan dukungan untuk rencana penutupan serta menekan risiko penolakan saat penutupan tambang.
Perencanaan penutupan tambang terdiri dari empat tujuan utama yang harus diperhatikan, yakni:
- Melindungi kesehatan dan keamanan masyarakat.
- Menekan kerusakan lingkungan.
- Menciptakan lahan produktif atau kembali ke keadaan semula.
- Melanjutkan manfaat ekonomi dan sosial dari pembangunan dan operasi tambang.
Maka dari itu, dalam proses ini perencanaan penutupan tambang perusahaan harus melakukan evaluasi biaya dan penjadwalan sebagai bentuk jaminan keuangan yang disediakan untuk menutupi biaya pelaksanaan rencana penutupan tersebut.
Tahap akhir proses perencanaan penutupan tambang disusun dengan cara yang logis dan deskriptif, dari pra-penambangan hingga penutupan tambang dalam dokumen Rencana Penutupan Tambang.