Industri pertambangan batubara di abad ke 19 masih menunjukkan kondisi yang penuh dengan bahaya dan keterbatasan.
Tepatnya di tahun 1860-an, pertambangan batubara antrasit masih berada di kedalaman, bahkan hingga 1.500 kaki di bawah bumi.
Para pekerja tambang mencapai kedalaman ini dengan teknologi yang masih sangat primitif.
Kondisi kedalaman pertambangan batubara yang seperti itu tentu saja menimbulkan bahaya bagi pemilik tambang.
Terlebih lagi, saat itu belum ada insinyur atau operator yang memiliki keahlian teknik yang dikembangkan secara formal untuk menggali tambang yang dalam.
Akhirnya, mereka hanya mengandalkan orang-orang dengan pengalaman praktisnya.
Tidak hanya itu, bahaya akan meledak atau terbakarnya gas metana juga menghantui industri pertambangan batubara di abad 19.
Industri tambang juga masih menunjukan kondisi keterbatasan, khususnya mengenai sistem untuk mengalirkan air dari tambang dan sistem ventilasi untuk memberi udara segar kepada para pekerja pertambangan.Â
Di abad 19, kondisi industri pertambangan batubara belum memiliki lereng dan poros drainase alami maupun buatan untuk membuang air tambang.
Sehingga para pekerja harus memompa atau mengangkatnya dengan tenaga uap. Tenaga uap diperlukan untuk mengoperasikan pompa karena pada masa itu tenaga listrik belum tersedia.Â
Sama hal nya dengan kondisi ventilasi di lokasi pertambangan batubara yang saat itu belum ada kipas listrik, sehingga digunakanlah tungku ventilasi sebagai alternatifnya.
Baca Juga: Dari Pertambangan Ke Pariwisata! Wujud Tambang Berkelanjutan
Tungku ini yang akan menciptakan aliran udara, dan aliran udara tersebut yang memberi ventilasi bagi tambang batubara.Â
Kedua hal tersebut menjadi kondisi utama yang menimbulkan bahaya dan keterbatasan bagi para pekerja tambang batubara di abad 19.
Bayangkan, jika sistem drainase atau pemompaan rusak, tambang batubara bisa banjir.
Dan yang lebih berbahaya jika tungku ventilasi kehabisan pasokan oksigen, akan mencekik para pekerja tambang yang bekerja di bawah.