Duka kapal pelayaran di balik larangan ekspor batubara – Setelah sempat dilarang pada 31 Desember 2021, akhirnya ekspor batubara kembali diizinkan. Kebijakan bersyarat ini ditujukan baik kepada penambang maupun PLN.
Namun pelarang yang hanya berusia beberapa hari itu telah menimbulkan duka bagi perusahaan pelayaran.
Dampaknya menerpa operator/pemilik kapal harus merogoh kocek sekitar 20.000 hingga 40.000 dollar AS per hari untuk demurrage.
Sementara kapal yang tidak diizinkan angkat jangkar itu ada lebih dari seratus unit. Sedangkan batubara yang akan diangkut oleh kapal-kapal itu sekitar 6 juta ton.
Ekspor batubara selama ini dilakukan dengan skema free on board. Artinya, penambang batubara nasional hanya menjual komoditas, sementara pengapalannya ditangani sendiri oleh pembeli.
Armada kapal nasional pengangkut batubara yang beroperasi saat ini rata-rata berupa tongkang dengan berbagai ukuran.
Kapasitas tongkang lazimnya berukuran mulai dari 180 kaki hingga 300 kaki. Tipe 180 kaki kapasitas angkutnya 2.000 ton, 230 kaki dengan kapasitas 4.000 ton, 270 kaki dengan kapasitas 6.000 ton dan 300 kaki berkapasitas 8.000 ton.
Baca Juga: 5 Istilah dalam Dunia Tambang yang Sering Dijumpai
Akibat pelarangan tersebut ternyata banyak penambang yang dilarang melakukan ekspor itu sebenarnya telah memenuhi domestic market obligation (DMO) mereka kepada PLN/IPP.
Penyamarataan penanganan antara kapal-kapal yang sudah memenuhi DMO dan yang belum dalam penerbitan surat persetujuan berlayar (SPB), jelas berdampak buruk kepada komunitas maritim internasional.
Seharusnya instansi yang berwenang segera bertindak antisipatif saat beleid pelarangan itu dikeluarkan oleh Kementerian ESDM dengan cara mengusulkan agar memperhitungkan dunia pelayaran secara selektif.