Mengutip data Kementerian ESDM tahun 2021, sektor pertambangan telah menyumbang sekitar 11,2% dari nilai ekspor dan memberikan kontribusi sekitar 2,8% terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia. Industri pertambangan juga mempekerjakan sekitar 37.787 tenaga kerja Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri, masih banyak perusahaan tambang ‘nakal’ yang tidak menerapkan kaidah pertambangan yang baik dan benar dan berujung kepada rusaknya lingkungan sekitar tambang.
Untuk itu, pemerintah mengeluarkan UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). UU tersebut dibuat demi menyeimbangkan peningkatan nilai ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan.
Masalah peningkatan nilai, Pasal 102 UU Minerba mengamanatkan bahwa: “Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib meningkatkan nilai tambah sumberdaya mineral dan/atau batubara pelaksanaan penambangan, pengelolaan, dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.”
Sementara Pasal 103 ayat (1) UU Minerba menyatakan bahwa: “Pemegang IUP dan IUPK operasi produksi wajib melakukan pengelolaan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.”
Pasal 170 UU Minerba menambahkan bahwa: “Pemegang Kontrak Karya sebagaimana dimaksud Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak undang-undang ini diundangkan.”
Mengolah bahan-bahan tambang seperti mineral, batubara dan batuan di dalam negeri akan memberikan nilai tambah.
Industri pengolahan, seperti industri peleburan logam (smelter), industri mineral dan industri pengolahan peningkatan kualitas batubara (upgrading brown coal) juga akan menciptakan banyak lapangan kerja, objek pajak baru dan berkurangnya ketergantungan industri di dalam negeri terhadap bahan-bahan impor.
Maka dengan kegiatan tersebut ketahanan ekonomi nasional secara keseluruhan akan meningkat.