Penelitian program hilirisasi batubara terbaru menyebutkan, terdapat potensi anoda baterai bisa dihasilkan dari batubara.
Proses ini mengkonversi batubara menjadi pitch, bahan baku grafit sintetik yang bernilai tinggi. Penelitian ini terpusat pada pembuatan prekursor karbon dari residu destilasi ter batubara sebagai material penyimpanan energi.
Ketika batubara dipanaskan tanpa oksigen, maka akan didapatkan hidrokarbon dalam bentuk ter batubara yang kemudian diolah menjadi pitch. Proses pembuatan ter batubara ini dikenal sebagai pirolisis, sementara proses pengolahan ter menjadi pitch biasanya melalui distilasi.Â
Namun tidak semua bagian dari pitch tersebut dapat dijadikan grafit sintetik. Sehingga perlu proses modifikasi dan ekstraksi menggunakan pelarut. Hanya sekitar 30%-40% dari pitch yang dapat diekstrak dan kemudian dapat dijadikan prekursor karbon untuk pembuatan grafit sintetik. Produk ekstraksi disebut sebagai mesophase pitch, karena mengandung 100% karbon yang dapat dikonversi menjadi grafit.
Proses pembuatan grafit sintetik secara konvensional harus melalui proses pada suhu ekstrim sekitar 2.000–3.000 derajat celcius. Hal ini sulit diterapkan secara ekonomis pada skala industri. Dengan bantuan katalis berbasis Fe (Ferrum). Sehingga suhu dapat diturunkan mendekati 1.000 derajat celcius.Â
Grafit merupakan bahan baku utama anoda baterai, yang umum digunakan pada baterai peralatan elektronik seperti baterai telepon genggam, laptop dan kendaraan listrik. Grafit berkinerja tinggi dan memiliki kapasitas pengisian cepat serta umur yang panjang.
Kandungan karbon tetap (fixed-carbon) pada batubara rata-rata 2—3 kali biomassa. Maka batubara dan turunannya merupakan prekursor karbon yang ekonomis. Semakin tinggi kandungan karbon maka semakin baik keekonomian proses grafitisasi.
Sekitar 83% pasokan grafit alam dunia berasal dari China dan Brasil. Namun, tidak semua grafit alam dapat digunakan sebagai anoda baterai, karena tingkat kemurnian dan kualitas ukuran kristalnya.
Sementara grafit sintetik memiliki kemurnian dan ukuran kristal yang homogen. Namun biaya proses pembuatan grafit sintetik secara konvensional dari minyak bumi masih tinggi, yaitu 10 kali lebih mahal dari biaya pengolahan grafit alam.
Meningkatnya produksi mobil listrik membuat permintaan grafit alam diperkirakan meningkat sekitar 154% setiap tahunnya. Hal ini membuat grafit menjadi bahan galian paling diburu.
Sehingga penelitian grafit sintetik perlu dilakukan untuk mengantisipasi ledakan permintaan, apalagi Indonesia tidak memiliki tambang grafit alam yang ekonomis.