Harga Batubara Acuan Kembali Meroket – Rusia diembargo pasokan energinya oleh Amerika Serikat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO), yang berdampak pada kenaikan Harga Batubara Acuan (HBA) April 2022 menjadi 288,40 dolar AS per ton.
Pulihnya perekonomian setelah pandemi COVID-19 di sejumlah negara juga ikut mendongkrak tingginya permintaan batubara global. Termasuk konsumsi listrik Tiongkok, yang naik tinggi menjadi pemicu kenaikan HBA.
Di samping itu, untuk menjaga daya saing industri domestik dan utamanya memastikan keterjangkauan hasil produksi industri bagi masyarakat.
Pemerintah Indonesia menetapkan HBA domestik khusus kelistrikan sebesar 70 dolar AS per ton dan untuk kebutuhan bahan bakar industri semen dan pupuk sebesar 90 dolar AS per ton.
Harga komoditas batubara global terdampak, sehingga HBA di bulan ini melonjak signifikan hingga 41,5 persen dari bulan Maret 2022 sebesar 203,69 dolar AS per ton.
Baca Juga: Kisah Pekerja Tambang Bosnia, Berpuasa di Bawah Tanah…
HBA adalah harga rata-rata indeks Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC) dan Platt’s 5900, yang diperoleh dari bulan sebelumnya, dengan kualitas kalori 6322 kcal/kg GAR, yaitu Total Moisture 8 persen, Total Sulphur 0,8 persen dan Ash 15 persen.
Selama empat bulan terakhir, grafik HBA terus menanjak. Sejak Januari 2022 sebesar 158,50 dolar AS per ton, naik ke 188,38 dolar AS per ton pada Februari.
Selanjutnya pada Maret menyentuh angka 203,69 dolar AS per ton dan bulan ini berada di level 288,40 dolar AS per ton.
HBA April akan digunakan secara langsung dalam jual beli komoditas batubara (spot) selama satu bulan pada titik serah penjualan di atas kapal pengangkut (FOB/Free on Board Vessel).
Ada dua faktor turunan yang mempengaruhi pergerakan HBA, yaitu pasokan dan permintaan. Faktor pasokan dipengaruhi oleh cuaca, teknis tambang, kebijakan negara supplier, hingga teknis di supply chain seperti kereta, tongkang, maupun terminal angkut.
Sementara faktor permintaan dipengaruhi oleh kebutuhan listrik, kondisi industri, kebijakan impor dan persaingan dengan komoditas energi lain, seperti LNG, nuklir dan hidro.