Kenali Izin Pertambangan Rakyat dalam Revisi UU Minerba

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memasukan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) sebagai salah satu isu pokok yang dibahas dalam Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) Nomor 4 Tahun 2009.

Berdasarkan draf Revisi UU Minerba pasal 67, pemerintah daerah dapat memberikan Izin Pertambangan Rakyat kepada penduduk setempat, baik kelompok masyarakat maupun koperasi dengan sejumlah syarat, seperti penggunaan peralatan teknis pertambangan yang sederhana, serta memiliki kedalaman tertentu sesuai jenis komoditas tambang.

Pada dasarnya, IPR tidak sembarangan begitu saja diterbitkan oleh pemerintah daerah. Ini mengingat kelompok masyarakat yang dimaksud dalam Revisi UU Minerba adalah mereka yang memiliki keterbatasan dalam teknologi pertambangan.

Dalam Revisi UU Minerba pasal 68 dijelaskan, luas wilayah satu IPR untuk kelompok masyarakat paling banyak 5 hektar, sedangkan untuk koperasi mencapai 10 hektar. Adapun jangka waktu untuk IPR maksimal 10 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 5 tahun. 

Adanya pembahasan isu IPR dalam Revisi UU Minerba merupakan wujud keberpihakan negara kepada rakyat, dan dimaksudkan agar kegiatan pertambangan di kalangan masyarakat lokal menjadi lebih eksis lagi.

Meski berstatus tambang rakyat, tetap saja tata cara pelaksanaannya harus memakai kaidah tambang yang baik. Laporan mengenai kegiatan pertambangan rakyat pun harus transparan agar pemerintah tidak memperoleh data cadangan dan produksi minerba yang sifatnya hanya dugaan saja. 

Pengawasan dari pemberi Izin Pertambangan Rakyat juga dilakukan seteliti mungkin agar menghindari adanya oknum-oknum yang melakukan penambangan ilegal dengan mengatasnamakan rakyat. 

Baca Juga : Kebijakan Perizinan Tambang Menurut UU Minerba

Dalam hal Izin Pertambangan Rakyat, masyarakat harus memiliki keterampilan dan wawasan yang luas soal pertambangan minerba, termasuk keterampilan untuk melakukan pemulihan atau reklamasi pascatambang.