ilmutambang.com – Penggunaan teknologi energi bersih terus didorong untuk mengoptimalkan pemanfaatan batubara. Hal itu dilakukan agar pemanfaatan batubara bisa sejalan dengan langkah penurunan emisi gas rumah kaca global.
Dari total 1.262 giga ton emisi karbon dioksida yang dihasilkan Indonesia, sebanyak 35 persen berasal dari pembangkit listrik batubara. Oleh karena itu, teknologi seperti Carbon Capture, Utilization And Storage (CCUS) perlu terus dikembangkan.
Secara teori, teknologi tercanggih akan mampu menghilangkan 90 persen karbon dan partikel berbahaya dari pembakaran batubara. Tetapi teknologi ini akan meningkatkan biaya operasional pembangkit energi batubara menjadi 70 persen.
Saat ini, baru dua pembangkit listrik batubara yang menggunakan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) di dunia, yakni Petra Nova di AS yang bakal beroperasi tahun ini dan Dam Boundary di Kanada, yang akan beroperasi pada 2014.
Namun penggunaan teknologi tersebut menghadapi sejumlah tantangan, yaitu penguasaan teknologi dan menciptakan skala keekonomian.
Teknologi yang lebih sederhana, yaitu “supercritical” dan “ultra-supercritical”, sudah dipakai di 500 pembangkit energi di seluruh dunia. Penggunaan teknologi ini faktanya mampu menghilangkan karbon sebanyak 20 persen.
Apabila teknologi ini digunakan untuk industri pertambangan batu bara di Indonesia, maka negara ini akan mampu mencapai sasaran emisi karbon hingga 20 persen pada 2030.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki 253 PLTU hingga 20 April 2022. Rincian dari PLTU tersebut yaitu, 21 persen menggunakan teknologi subcritical, 43 persen supercritical, 16 persen ultra-supercritical dan 20 persen tidak didefinisikan.
DuMelihat manfaat yang didapat apabila PLTU menggunakan teknologi CCUS dan CCS pada pembangkit batubara, semoga pemerintah Indonesia ke depannya bisa terus mengusahakan pemasangan kedua teknologi tersebut pada PLTU demi Bumi yang lebih baik.