PT Huadian Bukit Asam Power (HBAP) sebagai konsorsium pelaksana proyek PLTU Sumsel 8 bakal menerapkan teknologi supercritical, yaitu flue gas desulphurization (FGD) untuk menekan emisi gas rumah kaca.
Dilaporkan total emisi karbon dioksida (CO2) mencapai 33,9 gigaton (Gt) sepanjang 2020, sekitar 13,5 Gt di antaranya berasal dari listrik dan pemanas dan menjadi yang terbesar dibandingkan sumber lainnya.
FGD merupakan proses pencampuran emisi gas hasil pembakaran batubara dengan zat pengikat berupa kapur basah agar kandungan sulfur dioksida yang dilepaskan ke atmosfer menjadi rendah.
PLTU ini akan mengonsumsi sekitar 5 juta ton batu bara per tahun. Sehingga teknologi ini diharapkan akan meminimalkan sulfur dioksida dari emisi gas buang demi mencapai target netralitas karbon.
Progres pembangunan PLTU mulut tambang terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas total 2 x 660 megawatt (MW) atau lebih 1,2 gigawatt (GW) ini dilaporkan telah mencapai 92,84%.
Nantinya, batu bara akan dipasok dari IUP Bangko di wilayah tambang PTBA di Tanjung Enim.
Pembangunan PLTU ini dilaksanakan oleh perusahaan patungan antara PT Bukit Asam (PTBA) dan China Huadian Hongkong Company Ltd., PT Huadian Bukit Asam Power (HBAP) sebagai independent power producer (IPP). Proyek ini ditargetkan mulai beroperasi pada kuartal I 2022.
Proyek PLTU ini merupakan bagian dari proyek 35.000 MW ini bernilai US$ 1,68 miliar atau sekitar Rp 24 triliun.
Baca Juga : Teknologi Ini Bikin PLTU Batubara Tetap Relevan
HBAP mendapat fasilitas pinjaman dari China Export Import (CEXIM) Bank senilai US$ 1,26 miliar atau sekitar Rp 17 triliun sebagai bentuk kerja sama antara Indonesia dan Cina.
Nilai pinjaman CEXIM ini mencapai 75% dari kebutuhan pendanaan proyek. Sisanya sekitar US$ 420 juta akan dipenuhi oleh PTBA dan China Huadian melalui setoran modal.
Semoga lancar sesuai target dan dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitar, menguatkan sistem kelistrikan Sistem Sumatera.