Babak baru tahun 2021 sudah dimulai serta diprediksi tahun ini harga komoditas tambang bakal naik sekaligus diyakini sebagai tahunnya komoditas.
Berbagai komoditas terutama komoditas pertambangan dinilai akan memasuki periode bullish jangka panjang yang dikenal dengan sebutan ‘super cycle’.
Para pakar melihat adanya tren kenaikan harga komoditas di tahun 2021 setelah resesi hebat pada 2020 akibat pandemi Covid-19.
Dalam 227 tahun terakhir ada enam kali periode super cycle untuk komoditas yang terjadi setelah resesi atau depresi.
Faktor yang memicu kenaikan harga komoditas adalah suku bunga acuan yang rendah, dolar AS yang lemah hingga pertumbuhan ekonomi serta booming pembangunan infrastruktur di berbagai negara terutama untuk emerging market.
Untuk tahun 2021, China akan memiliki peran sentral dalam fase siklus super komoditas.
Keberhasilan China dalam menjinakkan wabah Covid-19 membuatnya menjadi satu-satunya negara G20 yang mencatatkan kinerja ekonomi yang paling moncer.
Dalam dua kuartal terakhir secara beruntun China berhasil tumbuh 3,2% (yoy) dan 4,9% (yoy).
Padahal di saat yang sama nilai median pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) negara-negara G20 berada di minus 11,1% (yoy) kuartal II dan negatif 4,15% (yoy) kuartal III.
Baca Juga: 6 Daerah Tambang Emas Besar di Indonesia
Di tahun 2020, bijih besi dan baja menjadi komoditas yang mengalami kenaikan sangat tinggi karena dipicu oleh booming permintaan di sektor konstruksi dan manufaktur China.
Untuk tahun 202 komoditas base metal seperti tembaga, aluminium, seng, nikel, timbal dan timah akan mendapat sentimen yang positif.